Putuskan, Terima dan Lanjutkan Hidup!
Ketika bicara juga sesulit diam. Utarakan, utarakan, utarakan. (“Utarakan”, Banda Neira)
Aku tak sepenuhnya setuju dengan lirik lagu tersebut. Mengapa tak memilih diam? Toh sama sulitnya, mau berbicara ataupun diam. Ada kalanya, sesuatu yang begitu ingin diutarakan ternyata lebih baik disimpan saja. Meskipun tentu menahan untuk tak berbicara juga menimbulkan rasa tidak nyaman. Ya, memendam sesuatu memang begitu konsekensinya.
Suatu ketika aku pernah mengutarakan sesuatu yang sudah tak sanggup lagi aku tahan. Namun aku harus menerima konsekuensi lain akibat pada akhirnya aku mengutarakannya. Cukup lama aku harus menahan rasa tidak nyaman akibat keputusanku untuk berbicara.
Aku tidak bilang bahwa diam akan selalu lebih baik. Namun menurutku, pada kondisi tertentu memang ada hal-hal yang lebih baik disimpan sendiri saja. Terkadang, diam memang benar-benar emas. Bahkan bisa jadi lebih berharga daripada itu.
Satu hal yang aku pelajari dari pengalamanku adalah segala keputusan kita pasti memiliki konsekuensi. Hidup pasti pernah menghadapkan kita pada dua situasi yang sama-sama tidak menyenangkan. Orang-orang sering bilang seperti makan buah simalakama. Tak ada yang menguntungkan. Namun tak ada cara lain selain memilih hal yang konsekuensinya lebih sanggup kita terima. Dan ketika sudah memutuskan jangan pernah menyesalinya. Buat apa? Toh sudah dieksekusi. Waktu dan segala keputusan kita tak akan pernah bisa di-undo. Jika kita terus mengingat dan menyesalinya saja, hanya akan menambah beban.
Memang hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan akan menghadirkan konsekuensi. Sebagai titik seimbang dari kebebasan memilih, ada tanggung jawab untuk menerima segala risiko dan konsekuensi. Siapa bilang hidup tidak adil? Hidup itu adil. Ada hukum alam yang telah Tuhan ciptakan bersama dengan diciptakannya kehidupan itu sendiri.
Selalu berlaku “jika-maka”. Mungkin terkadang manusia protes bahwa hidup ini tidak adil sebab tidak memahami hukumnya. Tidak mengerti rumus “jika-maka”-nya, kemudian memilih pilihan yang salah. Lalu harus menerima konsekuensi yang tidak diharapkan. Jika begitu, apakah ini salah kehidupan yang tidak adil?
“Hidup ini indah, jika kau mengikhlas yang harus dilepas.” Begitu kata Fiersa Besari dalam lagunya yang berjudul “Epilog”. Bagiku, hal yang sama berlaku saat kita merasa sudah mengambil keputusan yang salah. Mau bagaimana lagi? Tak ada cara untuk mengulang yang sudah terjadi. Hal yang paling mungkin kita lakukan adalah memperbaikinya. Dan memperbaiki, tempatnya tidak pernah di masa lalu. Sebab waktu tidak pernah berjalan mundur. Kita pasti sudah memahami hal itu. Memperbaiki, tempatnya ada di masa kini dan masa depan.
Buang semua beban yang memberatkan langkah. Kemudian, berjalanlah lagi. Menengok ke belakang sesekali itu tidak masalah. Hanya agar kita mengerti kesalahan yang kita pernah lakukan dan tidak mengulanginya lagi. Namun langkah dan tatapan kita harus ke depan. Fokulah kepada tujuan hidup yang sudah ditetapkan dari awal.
Jika tidak ada tujuan, maka buatlah. Lebih baik diam sejenak untuk memikirkan dan merencanakan. Daripada berjalan tanpa arah dan rencana. Setelah itu, barulah mulai langkah-langkah baru untuk mengejarnya.
Lepaskan beban yang tak perlu, dan melesatlah!
“We only live once. But if we do it right, once is enough.” (Mae West)
Komentar
Posting Komentar