Mimpiku adalah Milikku

Aku tidak pernah melupakan hari itu. Bahkan hingga hari ini, setelah 10 tahun berlalu. Saat mimpi dan kerja kerasku di musnahkan oleh ayahku sendiri.

Sertifikat kursus programming, yang kubayar dengan uang saku yang kukumpulkan sendiri, dibakar oleh ayahku. Padahal untuk mendapatkannya, aku rela berjalan kaki dari rumah ke sekolah sejauh 20 km. Aku menabung uang ongkosku demi mengikuti kursus itu. Dan mendapatkan sertifikat itu bukanlah hal yang mudah, terlebih di masa itu.

Aku mengikuti kursus itu sebab aku tahu jika ayah tidak akan membiayai kuliahku jika aku ngotot ingin kuliah programming. Sudah berkali-kali aku mengatakan keinginanku. Namun ayah selalu menganggapnya angin lalu. Ayah menganggap itu hanya omong kosong anak remaja yang masih menggebu-gebu emosinya.

"Apa susahnya sih nurut apa kata ayah? Sekolah dulu yang bener! Jadi juara kelas aja gak pernah. Malah ikut kursus gak jelas." Tak sedikitpun ada kata maaf yang keluar dari mulutnya. Aku tak menjawab, sudah lelah dengan sikap ayah yang selalu memaksakan kehendaknya. Aku tak menghiraukannya dan meneruskan membereskan barang-barangku, untuk minggat dari rumah.

Saat itu aku kelas 3 SMA. Aku memang siswa yang biasa saja, bukan yang teratas, bukan juga yang terbawah. Namun itu tak cukup untuk ayah. Ia ingin aku menjadi seorang pengacara, seperti dirinya. Keluarga ayahku memang “keluarga hukum”. Kakekku pun merupakan pensiunan jaksa.

Namun aku punya mimpiku sendiri. Yang bagiku, ia adalah milikku. Tak boleh ada yang mengambilnya dariku. Tak ada siapapun yang bisa, termasuk ayahku.

Tiga bulan menuju kelulusan SMA saat aku pergi dari rumah. Aku tinggal di rumah sahabatku, Diaz, yang kebetulan orang tuanya pun mengenalku. Orang tua Diaz tentu kaget saat Diaz bilang kalau aku ingin tinggal di rumahnya. Namun aku menjelaskan semua yang terjadi dan mereka pada akhirnya mengizinkanku dan menerimaku.

Orang tua Diaz itu orang yang sibuk dan sering ke luar kota untuk urusan bisnis. “Ya hitung-hitung kamu menemani Diaz biar dia gak kesepian,” kata ayahnya. Selama 3 bulan itu ayahnya Diaz yang membiayaiku.

Selepas lulus, aku memutuskan untuk pergi dari rumah Diaz. Sebab aku pikir sekarang aku bisa menghidupi diriku sendiri. Aku bekerja di tempat pencucian mobil. Aku pun meminta untuk tinggal di sana demi memangkas biaya tempat tinggal. Untungnya, bosku menyetujui asalkan aku juga merawatnya dan membersihkannya. Hanya ada satu ruangan kecil dengan kursi untuk tempatku tidur. Yang penting aku punya tempat untuk tidur, pikirku.

Saat itu, gajiku hanya cukup untuk makan saja. Itupun pas-pasan. Namun setiap hari aku masih selalu menyisihkan seribu-dua ribu untuk aku simpan. Ketika sudah terkumpul, aku selalu membeli buku tentang programming. Aku terus belajar meski aku belum bisa mempraktikannya sebab aku belum punya komputer. Namun aku selalu ingat, aku punya impian. Maka aku terus berjuang meskipun mungkin langkahku sangat pelan untuk meraihnya.

Aku ini memang orang yang supel dan bisa berteman dengan banyak kalangan. Aku punya banyak teman yang loyal, sebab aku adalah tipe orang yang mudah untuk membantu teman. Makanya, teman-temanku pun tak pernah segan untuk membantuku.

Selepas bekerja di tempat pencucian mobil, setiap malam aku selalu menyempatkan untuk nongkrong  dengan teman-temanku yang kuliah programming. Aku menyerap banyak ilmu dari mereka. Sesekali meminjam laptop mereka untuk mempraktekkan ilmu-ilmu yang aku pelajari.

Dua tahun berlalu, adikku mendatangiku. Dia bilang ayah sedang sakit dan memintaku untuk pulang. Awalnya aku menolak sebab aku masih sakit hati. Namun adikku terus mendatangiku hingga hari di mana dia bilang, ayah kritis dan dilarikan ke ICU.

Akhirnya aku pulang, meskipun hingga hari terakhir ayah menghembuskan napas, aku tak pernah berbicara dengannya, sebab ia sudah tak sadarkan diri. Namun, ayah menitipkan uang untuk biaya kuliahku lewat ibu.

“Ayah bilang, maafkan sikap ayah selama ini. Ia hanya ingin yang terbaik untuk masa depanmu, nak. Meskipun dia sadar belakangan kalau caranya salah. Namun sebelum dia tak sadarkan diri, ayah meminta ibu menyampaikan padamu bahwa ayah bangga punya anak yang kuat dan begitu tangguh memperjuangkan mimpimu.”

***

Pikiranku kembali ke layar komputer. Di mana berjejer kode-kode pemrograman, yang menurut banyak orang mungkin rumit. Namun menurutku, ia adalah lukisan yang indah. Di sinilah aku kini, menjalani mimpiku.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untitled #4

Apakah Ada Kata Terlambat?

Kendali