Cinta Berlogika
“Rasya…” Suara yang tak asing terdengar dari sampingku. Saat aku sedang melihat-lihat rak novel di toko buku langgananku. Aku menengok ke arah suara tersebut. Dan benar, itu dia. Randy, orang yang dulu pernah mengisi hari dan hatiku. Entah kenapa, kakiku refleks melangkah pergi menjauhinya.
“Tunggu, Sya,” dia meraih tanganku dan memegangnya erat.
“Lepasin,” kataku setengah berbisik.
“Iya bakal aku lepasin, tapi kamu jangan pergi. Please,” balasnya.
Aku pun diam, tidak ingin menarik perhatian pengunjung lain. Beberapa saat kemudian dia melepaskan tanganku.
“Ada yang mau aku omongin. Gimana kalau kita ke café di seberang?” ajaknya.
“Mau ngomongin apa sih?”
“Soal kita.”
“Kita tuh udah selesai, Ran. Mau ngomongin apa lagi?”
“Nggak, masih ada yang belum selesai.”
“Bagi aku semuanya udah selesai. Waktu kamu lupa sama komitmen kamu. Waktu kamu memutuskan untuk…” suaraku mulai bergetar, dadaku sesak, dan kurasakan sedikit air mata mulai berkumpul di ujung mata.
“Please jangan lanjutin di sini. Ayo kita keluar aja.” Randy menarik tanganku, tapi aku melepaskannya.
“Aku bisa keluar sendiri,” kataku sambil melangkah keluar, menuju café di seberang jalan. Kami mencari tempat duduk dan memesan dua cangkir kopi.
“Aku udah lama nyariin kamu, Sya. Kamu blok semua nomor dan social media aku. Aku ke kosan kamu, tapi katanya kamu pindah. Aku nanya Octa, dia gak pernah jawab. Dan akhirnya hari ini Tuhan menakdirkan kita buat ketemu lagi,” Randy membuka pembicaraan.
“Kalau bisa, aku mau minta sama Tuhan buat gak ketemu kamu lagi sih,” balasku dingin.
Randy menghela napas, kemudian berkata, “Aku tahu aku punya salah yang besar banget sama kamu. Aku gak akan membela diri. Tapi aku cuma pengen kamu tahu kalau kamu berarti buat aku. Aku masih sayang sama kamu, sampe sekarang. Gak sedetik pun aku lupa sama kamu, dan semua yang udah pernah kita lalui, Sya.”
“Terus apa gunanya sekarang kamu ngomong gitu ke aku? Nothing’s gonna change, Ran. Kita udah selesai. Persetan dengan semua kenangan kita. Aku udah menguburnya dalam-dalam…” aku terdiam sejenak, menguatkan diri. “Sejak hari itu. Hari di mana kamu ngasih mimpi buruk ke dalam hidup aku yang sama sekali gak pernah aku bayangin. Hari di mana kamu bilang bahwa kamu akan menikah dengan perempuan lain. Dan perempuan itu… hamil.” Mataku tak kuasa untuk menahan air mata yang sudah menggenang. Air mata mengalir perlahan di pipiku.
“Kasih aku waktu, sampai anak itu lahir. Dan aku akan kembali sama kamu. Aku tetap akan bertanggung jawab. Aku akan bawa, aku akan urus anak itu. Tapi aku inginnya sama kamu.”
“Kok bisa ya ada cowok sejahat dan sebrengsek kamu? Kamu itu egoisnya kebangetan, tau gak sih? Kamu pikir memisahkan anak dengan ibunya itu adalah perilaku yang bertanggung jawab? Terus kamu mau pergi begitu aja? Tanpa mikirin nasib istri kamu? Dan kamu pikir apa aku sebedebah kamu, yang bakal nerima kamu lagi? Dan menjadi sebab kesengsaraan seorang perempuan lain? Kamu udah gila!”
Bukan lagi kesedihan yang aku rasakan. Aku marah. Kecewa. Tak habis pikir, pemikiran pengecut dan egois itu datang dari seorang laki-laki yang dulu begitu aku kagumi.
“Aku sayang sama kamu. Dan aku tahu kamu masih sayang sama aku, Sya. Mata kamu gak bisa bohong. Aku tahu aku salah. Tapi please, kasih aku kesempatan. Kasih cinta kita kesempatan.”
“Oke, aku emang gak jago bohong. Tiga tahun itu bukan waktu yang singkat. Melupakan kenangan kita selama tiga tahun itu sungguh bukan sesuatu yang mudah. Aku masih sayang sama kamu. Setiap malam aku masih menangisi semua yang terjadi. Aku masih gak mood makan. Aku masih mati-matian menahan air mata setiap datang ke tempat dulu kita jalan. Tapi cinta juga butuh logika, Ran. Cinta harus punya nurani. Jangan pernah sebut itu cinta kalau yang kamu pikirkan hanya kebahagiaan kamu! Kalau kamu bener cinta sama aku, jangan pernah usik aku lagi. Cintai anak dan istri kamu dengan tulus. Bertanggung jawablah secara penuh atas perbuatan yang kamu lakukan. Aku gak ingin kamu jadi laki-laki brengsek, Ran. Cukup aku yang sakit hati. Tolong, jangan sakiti hati perempuan lagi. Sebab itu hal paling pengecut yang dilakukan seorang laki-laki! Aku gak pengen kamu jadi pengecut.”
“Tapi cinta gak bisa dipaksa, Sya…” katanya sambil memgang tanganku.
Aku melepaskan tangannya. Aku tegaskan bicaraku. “Bisa, Ran. Cinta gak datang tiba-tiba tanpa alasan. Kalo niat kamu tulus, seiring waktu aku yakin kamu bisa.”
“Tapi, Sya…”
“Udah, Ran. Sampai sini aja. Aku gak mau kita ketemu lagi. Jangan pernah cari aku lagi. Aku butuh waktu buat berdamai dengan kenyataan ini. Kamu pun harus. Menerima kenyataan. Mengambil tanggung jawab penuh atas perbuatan kamu. Aku cuma mau ingetin ini sama kamu. Jangan pernah kehilangan diri kamu hanya karena sesuatu yang kamu anggap cinta. Kalaupun memang benar itu cinta, inget, cinta itu butuh logika. Jangan sampai emosi yang mengambil alih pikiran dalam mengambil keputusan. Randy yang aku kenal adalah orang yang baik, yang selalu berpikir logis dan gak gegabah dalam mengambil keputusan. Udah, Ran. Aku harus pergi.” Tanpa keraguan, aku tinggalkan Randy, dan melangkah keluar.
Memang sulit rasanya untuk menerima kenyataan dan merelakan semua yang terjadi. Aku dan Randy pernah memiliki mimpi yang sangat indah soal bagaimana kami akan menghabiskan sisa hidup bersama. Aku sama sekali gak pernah membayangkan mimpi yang indah itu akan terhempas begitu saja. Dalam sedetik, duniaku langsung berubah.
Randy, laki-laki yang begitu aku percayai ternyata berkhianat. Dia jalan dengan perempuan kenalannya di sosial media. Entah apa yang membuatnya gelap mata, hingga dia melakukan dosa, yang sama sekali tak pernah terlintas di pikiranku bahwa dia akan melakukannya. Namun dia juga manusia, mungkin ada masanya dia khilaf. Namun itu tak lantas membenarkan perilakunya. Dia harus tetap bertanggung jawab dan menanggung semua konsekuensi atas perbuatannya.
Aku benar-benar tak menyangka. Cerita-cerita yang selama ini aku dengar dari orang lain atau aku baca di sosial media, benar-benar terjadi kepadaku. Aku kira hal seperti ini hanya ada dalam cerpen, novel atau sinetron alay saja. Namun di dunia nyata, malah aku yang mengalaminya.
Sejujurnya, memang aku masih menyayanginya. Namun aku harus tegar dan tegas. Aku harus tetap berada pada prinsipku. Aku tak mau termakan cinta buta yang menghilangkan nuraniku. Aku tidak mau menjadi sebab penderitaan orang lain. Aku tak mau mengambil keputusan yang akan aku sesali di kemudian hari.
Dan tugasku sekarang adalah memaafkan segala yang terjadi di masa lalu. Menerima semua kenyataan yang terjadi. Menata kembali hidupku dan terus melangkah menatap masa depan yang aku yakin bisa lebih baik, tanpa Randy.
Top
BalasHapus