Arti Teman

Pagi hari memang waktu yang tepat untuk menikmati secangkir kopi. Sambil berkhayal soal masa depan. Ya, biarlah, berkhayal dulu. Biasanya ketika berkhayal aku akan terngiang-ngiang, kemudian menjadi keinginan. Dan tentu aku perjuangkan.

Saat kopiku setengah cangkir, Riza, sahabatku dari kecil sudah sampai di depan gerbang rumahku dengan motor R15 kebanggaannya. Aku bergegas meneguk sisa kopiku. Dan menghampirinya. Dia sahabat sekalian tukang ojek gratisku. Hahahaha.

Kebiasaan kami saat sampai sekolah adalah duduk di taman sekolah. Ada sebuah bangku panjang di bawah sebuah pohon yang sangat rindang. Sampai-sampai siswa di sekolahku menamainya DPR. Bukan DPR yang katanya wakil rakyat itu. Melainkan sebuah singkatan: di bawah pohon rindang. Harusnya di DBPR ya? Hahaha.

"Lo kenapa sih diem aja, Ky?" Riza tiba-tiba membuka percakapan.

"Apanya?" aku meminta Riza memperjelas maksudnya.

"Itu, soal anak-anak yang ngomongin lo. Satu sekolahan udah tahu, Ky, soal bokap lo yang masuk penjara. Lo juga ngerasa kan, anak-anak kelas jadi rada beda sama lo?" Riza menjelaskan maksudnya.

"Terus menurut lo gue harus ngomong apa? Jelasin semuanya? Kalo bokap gue cuma kena fitnah, kriminalisasi, dan dia sebenernya gak bersalah? Berharap mereka bakal bersimpati dan percaya sama omongan gue?" aku meresponnya dengan pertanyaan retoris. Aku tak perlu jawabannya.

"Ya seenggaknya kan mereka ngerti, Ky. Siapa tau sebagian dari mereka bakalan mikir ulang, dan gak ngomong seenaknya," timpal Riza.

"Waktu pertama lo tau bokap gue dipenjara, lo langsung judge dan gosipin gue gak?" tanyaku.

"Ya enggak lah! Gue kan tanya lo dulu, itu bokap lo kenapa," Riza buru-buru menjawab.

"Kenapa lo kayak gitu?" tanyaku.

“Ya gue kan temen lo. Masa gue malah ngejatohin lo sih? Ya seenggaknya gue paham dulu lah kondisinya. Terus siapa tau gue bisa ngasih lo masukan. Dan yang pasti ya support lo,” cerocos Riza yang memang ceriwis.

“Nah ya udah kan, kalo emang beneran temen, sikapnya bakal kayak lo. Kalo emang ada yang malah ikut ngomongin gue tanpa tanya gue dulu. Tanpa paham kondisi dan masalahnya. Apa dia nganggap gue temen? Kalo enggak, terus ngapain gue jelasin? Mereka juga gak akan percaya. Malah buang-buang tenaga. Gue sengaja sih, biar itu jadi filter, mana yang beneran temen, mana yang penjilat. Dan soal kebenaran, gue yakin sih, kebenaran cepat atau lambah bakal terungkap. Saat kebenarannya terungkap, biarin hal itu aja yang membungkam mereka yang ngomongin gue sekarang.” Kujawab dengan santai.

“Ini sih amit-amit ya, kalo nih ya, kalo, kalo ternyata kebenarannya gak terungkap? Kita paham lah ya, hukum macam apa yang dijalankan di sini.” Riza belum puas.

“Ya seenggaknya Tuhan pasti gak akan salah menilai mana yang benar dan mana yang salah. Dan yang penting gue tahu bokap gue gak bersalah. Gue tetap punya rasa sayang dan bangga sama doi. Itu yang penting bagi gue, gue gak kehilangan figur ayah. Persetan dengan apa kata orang. Toh mereka juga gak peduli sama hidup gue. Mereka cuma seneng nyari bahan pembicaraan saat mereka gabut. Bel tuh, yok ah ke kelas.” Aku menepuk bahu sahabatku itu. Kemudian kami berjalan menuju ke kelas. 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan

I'm (Not) A Teacher

Resensi Buku "Manajemen PIkiran dan Perasaan" Karya Ikhwan Sopa