Penyakit Media Sosial? (Part 1)
Kemarin saya menonton video Podcast Deddy Corbuzier dan Young Lex di kanal YouTube Deddy Corbuzier. Judulnya, “Lutfi Anjay Ditantang Young Lex” yang diterbitkan pada tanggal 5 September 2020. Sesuai judulnya, yang dibahas di dalam video tersebut kebanyakan adalah masalah kata “anjay” yang dipermasalahkan oleh Lutfi Agizal. Namun, yang menarik perhatian saya bukanlah pembahasan soal kata “anjay” itu. Melainkan, di menit 20:02, Young Lex sempat melontarkan pendapat bahwa sosial media menyebabkan penyakit sosial yang baru
Dalam video tersebut disebutkan contoh penyakit sosial yang baru itu misalnya fake account, attention seeker, stalker, juga being fake atau tidak menampilkan diri apa adanya. Saya sepakat bahwa sosial media memiliki manfaat, seperti media untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan, media edukasi, mengembangkan bisnis, dan sebagainya. Namun, tentu saya juga tidak membantah jika memang dampak negatifnya juga tidak kalah banyak. Dan menurut saya penyakit di media sosial bukan hanya hal-hal yang disebutkan oleh Young Lex di video Podast tersebut. Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa pendapat mengenai hal ini. Namun, ini hanya pendapat saya. Saya sangat terbuka terhadap pendapat dan kritik.
Masih ingat kasus viral seorang remaja (kita sebut saja A”) yang mengaku mendapatkan bully hingga kekerasan fisik dari kakak kelasnya? Bahkan banyak public figure baik artis maupun influencer pun ikut berkomentar dan menyatakan dukungan. Hingga ada petisi daring yang isinya memperjuangkan keadilan bagi A. Kita lihat saat itu banyak sekali warganet yang membela A serta menghujat kakak-kakak kelas yang dituduh melakukan bully pada A. Dan pada akhirnya, satu Indonesia tertipu oleh A. Semua itu hanya drama yang diciptakan olehnya.
Saat itu banyak warganet yang langsung bereaksi tanpa mengecek terlebih dahulu mengenai kebenaran dari cerita tersebut. Bahkan akun kakak kelas yang dituduh juga dipublikasikan hingga ada yang meretasnya. Namun di akhir kasus itu terkuak juga sebenarnya bagaimana profil A yang selama ini dibela habis-habisan. Pelajaran yang saya dapatkan dari kasus itu salah satunya adalah begitu mudahnya orang-orang mengambil sebuah kesimpulan dan menghakimi orang lain, tanpa kita mengenalnya di dunia nyata.
Kita kadang lupa bahwa sosial media adalah dunia maya, semu. Orang-orang hanya menunjukkan hal-hal yang ingin dia tunjukkan. Kita melihat kehidupan seseorang hanya dari layar gawai, yang berukuran 6-11 inci saja. Di luar layar tersebut, kita tidak pernah tahu dengan pasti, jika tak mengenalnya di dunia nyata. Bahkan orang-orang yang kita kenal secara langsung di dunia nyata pun tak selalu kita benar-benar mengenali dan memahaminya.
Hakim-menghakimi tanpa mengecek fakta memang sudah terjadi di dunia nyata bahkan sebelum adanya sosial media. Hanya saja persoalannya dengan adanya sosial media, hal tersebut menjadi semakin rawan dilakukan. Dengan melihat postingan seseorang di sosial media, kita menjadi merasa bahwa kita telah mengenal orang itu. Sehingga sah saja melakukan penghakiman kepadanya. Dan hal itu semakin menjadi biasa karena banyak orang melakukannya. Dan manusia cenderung tergerak melakukan hal yang banyak orang lakukan.
Ada hal lain juga yang berhubungan dengan hakim-menghakimi di media sosial. Apakah itu? Insha Allah, saya bahas di postingan berikutnya besok. Hehe.
Komentar
Posting Komentar