Penyakit Media Sosial? (Part 2)
Setelah hakim-menghakimi, yang saya sudah bahas di sini, kecenderungan berkata kasar, menghujat dan mencaci orang yang dianggap salah juga merupakan sebuah penyakit menurut saya. Mungkin di antara kita pun pernah atau sering mengalaminya. Ketika kita mengomentari sebuah postingan dan menyatakan pendapat kita, kemudian ada yang tidak setuju kemudian mengatai kita “bodoh”, “g*blok”, “t*lol” dan kata makian lainnya. Tanpa membalas dengan argumentasi yang layak untuk menyanggah pendapat kita. Dan kita juga tidak mengenalnya, bahkan akun yang digunakan pun palsu. Mereka hadir hanya untuk memperkeruh suasana.
Kata-kata bisa menjadi senjata yang mematikan di media sosial. Jika pisau atau pistol butuh kontak fisik dan harus berhadapan langsung, maka kata-kata tak perlu ada kontak fisik langsung. Kita banyak mendengar artis-artis atau public figure yang sampai bunuh diri karena kata-kata yang dilontarkan oleh warganet. Apakah sang artis lebay? Belum tentu. Kita tak pernah tahu apa yang sudah dilalui seseorang dalam hidupnya. Dan kita tak pernah tahu, seberapa dalam kata-kata yang kita lontarkan bisa menyakiti seseorang. Bukan berarti kita tak boleh berkomentar, tapi pastikan untuk memikirkan dan merasakan kata-kata kita sendiri sebelum kita melontarkannya.
Sosial media juga membuat kita lebih mudah untuk menciptakan musuh dibandingkan teman. Tentu masih ingat dengan apa yang terjadi saat Pemilu 2019, terutama saat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Atmosfer di sosial media sangat ricuh dan warganet mayoritas terbagi menjadi 2 kubu, dengan sebutan “c” dan “k”. orang-orang yang tak saling mengenal berdebat dan saling menghina, saling menjelekkan. Dulu sempat beredar juga berita soal dua orang yang awalnya berdebat di Facebook, tapi persoalan itu dibawanya ke dunia nyata, sampai berencana untuk membunuhnya. Dan bukan hanya kasus itu Pemilu saja, permusuhan yang terjadi di dunia sosial terkadang hanya disebabkan sebuah komentar yang memiliki pendapat berbeda.
Saya baru aktif lagi menggunakan Twitter sekitar tahun 2018 akhir atau 2019. Jujur saja, awalnya saya cukup terkejut dengan kultur di dunia twitter yang kala itu banyak fenomena “spill the tea”. Yaitu membuka sebuah kasus lewat thread yang biasanya menceritakan kronologi hingga pelakunya. Kebanyakan kasus-kasus yang saya pikir termasuk kepada kriminalitas seperti pelecehan, pencurian, penipuan dan lain sebagainya. Dan pelakunya sendiri terkadang tidak disamarkan sama sekali.
Fenomena “spill” di twitter ini memang ada kalanya positif juga. Sebuah kasus yang awalnya diabaikan kemudian dilirik dan dicari solusinya sebab kasus tersebut menjadi sorotan satu Indonesia. Itu hal baiknya. Namun, yang menjadi masalah bagi saya adalah kecenderungan reaksi warganet ketika ada sebuah tweet “spill” ini. Warganet sangat antusias dan –walaupun saya paham mungkin terkadang konteksnya bercanda- saya sering menemukan cuitan komentar “aku suka keributan”, “ayo spill, aku tidak suka damai” dan cuitan sejenisnya. Timeline isinya keributan. Dunia nyata maupun dunia maya, isinya soal perpecahan. Dan kita pun terbiasa dihadapkan dengan keributan serta kata-kata negatif.
Memang tidak semua media sosial isinya keributan, perpecahan, caci maki dan hal-hal negatif. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa konten-konten negatif juga masih berkeliaran dan cenderung disukai kebanyakan warganet. Kita tentu bisa memilih mana konten yang ingin kita lihat dan tidak. Kita juga bisa memilih untuk menjadi jenis warganet yang mana: menjadi silent reader, menjadi yang memperkeruh suasana, atau menyebarkan hal-hal baik?
Mungkin pernyataan ini sudah sering sekali dikatakan di banyak tempat oleh banyak orang. Namun saya tetap ingin kembali mengingatkan, termasuk kepada diri saya sendiri, bahwa setiap hal pasti memiliki dua sisi. Sisi baik dan sisi buruk. Sebagai seseorang yang sudah dewasa, yang sudah selayaknya bijaksana dalam memilih segala hal dalam hidup kita, bijaksanalah dalam menggunakan sosial media. Sosial media hanyalah sebuah alat. Yang membuat alat itu berbahaya atau bermanfaat tergantung kepada sang pemakai. Semoga kita bisa menciptkan atmosfer sosial media yang sehat, setidaknya dimulai dari diri kita sendiri. Syukur-syukur bisa memberikan pengaruh positif kepada lingkaran yang lebih besar.
Bijak bersosial media, mantab
BalasHapusKonsep sederhana, tapi sulit diaplikasikan
Hapus