Tak Hanya Soal Nilai Material
Dari mekanisme yang saya jelaskan, setidaknya ada dua konsekuensi
yang timbul. Pertama, kompetisi sesama driver menjadi sangat tinggi. Sebab,
dari manapun ordernya semuanya dibagikan di grup tersebut dan semua driver ada
di sana. Harus cepet-cepetan. Kedua, posisi order bisa sangat acak. Tidak
semua order bisa terkerjakan sekalipun sedang free. Sebab, bisa jadi
tempat stay driver atau tempat tujuan dari order terakhir yang
dikerjakan sangat jauh dengan posisi order yang baru. Hal ini berbeda
dengan perusahaan yang memang aplikasinya sudah digunakan secara luas. Mereka
bisa mendapatkan order yang dekat dengan tempat mereka stay.
Satu asumsi yang cukup penting adalah rumah saya di Soreang,
Kabupaten Bandung. Jadi setiap pagi setelah shalat Shubuh saya berangkat ke
kota, dan seharian stay di jalan menunggu orderan. Hampir semua order
pertama yang saya kerjakan setiap harinya sangat jauh dari rumah. Bisa 40 menit
hingga 1 jam perjalanan. Sering sekali customer yang saya layani
bertanya di mana rumah saya, dan ketika saya menjawabnya, mereka selalu berkata,
“Wah jauh sekali ya. Memangnya gak malah ngabisin bensin ya?” Di
rumah pun, saya selalu ditanya oleh orang tua saya, “Dapet berapa seharian
jalan?” Bahkan kadang orang tua saya berkata, “Kamu capek-capek seharian
jalan ini emang sebanding dengan yang didapatkan?”
Sejujurnya saja, jika saya hanya melihat dari aspek materi
atau jumlah uang yang saya dapatkan, sama sekali “tidak menguntungkan”. Jika hanya
melihat dari pendapatan yang bisa saya dengan jumlah tenaga serta waktu yang
saya habiskan, tentu tidak sebanding. Tapi apakah saya menyesal dan ingin
berhenti? Tidak semudah itu ya Ferguso. Dalam pandangan saya, segala
sesuatu tidak hanya memiliki nilai material. Ia bisa memiliki nilai emosional,
nilai sosial, nilai fungsional, juga nilai syar’i, dan lain sebagainya.
Saya tidak menampik kadang ada perasaan sedih juga jika dalam
satu hari hanya bisa mengambil sedikit order saja serta hasil yang saya
dapatkan sedikit. Tapi saya selalu menghibur diri. Salah satunya adalah dengan
melihat apa yang saya lakukan ini dari sudut pandang lain.
Saya kembalikan bahwa setiap yang kita lakukan haruslah
bernilai ibadah. Saya kemudian menghayati, apakah yang saya lakukan sudah
bernilai ibadah? Saya ingat kembali, mengapa sang founder mendirikan perusahaan
ini, mengapa konsepnya ojek online khusus perempuan. Sebagai seorang muslim, yang
saya pahami nilai dasarnya jika seorang muslim tidak boleh bersentuhan dengan
yang bukan mahramnya. Para pengguna jasa ojek online ini adalah mereka yang
ingin menjaga prinsip tersebut. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih,
bukan? Saya memaknai bahwa yang saya lakukan adalah mempermudah jalan mereka
untuk tetap menjaga pilihannya. Dan itu juga sesuai dengan ajaran yang saya
yakini. Saya percaya, bahwa dakwah tak harus hanya lewat kata-kata saja,
melainkan juga perbuatan. Dan saya juga maknai bahwa yang saya lakukan bisa
jadi adalah bagian dari dakwah.
Dari beberapa customer yang saya layani, mereka menggunakan
ojek online ini untuk mengantarkan anaknya ke sekolah, untuk pergi mengikuti
kajian, berangkat ataupun pulang kuliah. Saya memaknai setidaknya saya bisa memudahkan
jalan bagi mereka yang ingin melakukan kebaikan. Dan jika saya ingat hal
tersebut, saya mendapatkan sebuah ketenangan. Dan saya pikir rasa tenang itu
adalah sesuatu yang berharga. Bisa lebih berharga dari nilai material. Uang bisa
dicari dengan berbagai cara. Tapi rasa tenang hanya bisa dicari dengan cara
melakukan hal-hal baik dan benar.
Komentar
Posting Komentar