Tak Hanya Soal Nilai Material



Sudah hampir tiga minggu ini saya menjadi driver sebuah ojek online khusus perempuan. Jadi, driver dan customer-nya hanya perempuan. Perkembangannya belum sebesar perusahaan transportasi online yang jauh lebih dulu sudah ada. Penggunanya banyak di daerah kota. Para customer-nya pun sangat sulit menemukan driver lewat aplikasi, sehingga harus memesan via WhatsApp atau Telegram kepada admin. Kemudian pesanan-pesanan yang masuk kepada admin itu dibagikan di grup khusus driver. Kemudian driver yang bisa membantu bisa mengambil order tersebut dengan memberi tahu admin bahwa yang bersangkutan mengambil order tersebut.

Dari mekanisme yang saya jelaskan, setidaknya ada dua konsekuensi yang timbul. Pertama, kompetisi sesama driver menjadi sangat tinggi. Sebab, dari manapun ordernya semuanya dibagikan di grup tersebut dan semua driver ada di sana. Harus cepet-cepetan. Kedua, posisi order bisa sangat acak. Tidak semua order bisa terkerjakan sekalipun sedang free. Sebab, bisa jadi tempat stay driver atau tempat tujuan dari order terakhir yang dikerjakan sangat jauh dengan posisi order yang baru. Hal ini berbeda dengan perusahaan yang memang aplikasinya sudah digunakan secara luas. Mereka bisa mendapatkan order yang dekat dengan tempat mereka stay.

Satu asumsi yang cukup penting adalah rumah saya di Soreang, Kabupaten Bandung. Jadi setiap pagi setelah shalat Shubuh saya berangkat ke kota, dan seharian stay di jalan menunggu orderan. Hampir semua order pertama yang saya kerjakan setiap harinya sangat jauh dari rumah. Bisa 40 menit hingga 1 jam perjalanan. Sering sekali customer yang saya layani bertanya di mana rumah saya, dan ketika saya menjawabnya, mereka selalu berkata, “Wah jauh sekali ya. Memangnya gak malah ngabisin bensin ya?” Di rumah pun, saya selalu ditanya oleh orang tua saya, “Dapet berapa seharian jalan?” Bahkan kadang orang tua saya berkata, “Kamu capek-capek seharian jalan ini emang sebanding dengan yang didapatkan?”

Sejujurnya saja, jika saya hanya melihat dari aspek materi atau jumlah uang yang saya dapatkan, sama sekali “tidak menguntungkan”. Jika hanya melihat dari pendapatan yang bisa saya dengan jumlah tenaga serta waktu yang saya habiskan, tentu tidak sebanding. Tapi apakah saya menyesal dan ingin berhenti? Tidak semudah itu ya Ferguso. Dalam pandangan saya, segala sesuatu tidak hanya memiliki nilai material. Ia bisa memiliki nilai emosional, nilai sosial, nilai fungsional, juga nilai syar’i, dan lain sebagainya.

Saya tidak menampik kadang ada perasaan sedih juga jika dalam satu hari hanya bisa mengambil sedikit order saja serta hasil yang saya dapatkan sedikit. Tapi saya selalu menghibur diri. Salah satunya adalah dengan melihat apa yang saya lakukan ini dari sudut pandang lain.

Saya kembalikan bahwa setiap yang kita lakukan haruslah bernilai ibadah. Saya kemudian menghayati, apakah yang saya lakukan sudah bernilai ibadah? Saya ingat kembali, mengapa sang founder mendirikan perusahaan ini, mengapa konsepnya ojek online khusus perempuan. Sebagai seorang muslim, yang saya pahami nilai dasarnya jika seorang muslim tidak boleh bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Para pengguna jasa ojek online ini adalah mereka yang ingin menjaga prinsip tersebut. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih, bukan? Saya memaknai bahwa yang saya lakukan adalah mempermudah jalan mereka untuk tetap menjaga pilihannya. Dan itu juga sesuai dengan ajaran yang saya yakini. Saya percaya, bahwa dakwah tak harus hanya lewat kata-kata saja, melainkan juga perbuatan. Dan saya juga maknai bahwa yang saya lakukan bisa jadi adalah bagian dari dakwah.

Dari beberapa customer yang saya layani, mereka menggunakan ojek online ini untuk mengantarkan anaknya ke sekolah, untuk pergi mengikuti kajian, berangkat ataupun pulang kuliah. Saya memaknai setidaknya saya bisa memudahkan jalan bagi mereka yang ingin melakukan kebaikan. Dan jika saya ingat hal tersebut, saya mendapatkan sebuah ketenangan. Dan saya pikir rasa tenang itu adalah sesuatu yang berharga. Bisa lebih berharga dari nilai material. Uang bisa dicari dengan berbagai cara. Tapi rasa tenang hanya bisa dicari dengan cara melakukan hal-hal baik dan benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan

I'm (Not) A Teacher

Resensi Buku "Manajemen PIkiran dan Perasaan" Karya Ikhwan Sopa