Memory of Kenjeran





Kenjeran adalah salah satu tempat yang sakral bagi saya. Mungkin tidak banyak orang yang tahu Kenjeran itu apa sih? Saya pun jika tidak pernah bertandang ke Surabaya mungkin tidak akan tahu. Jadi, Kenjeran itu adalah sebuah nama pantai di Surabaya. Pantainya bukan pantai pasir begitu, tapi pantai karang. Yang di pinggir lautnya (eh mungkin lebih tepatnya selat mungkin ya) itu batu-batu karang. Kenapa sih kok bisa Kenjeran jadi tempat yang sakral bagi saya? Baiklah akan segera saya ceritakan.

Lima tahun terakhir ini saya tinggal di Surabaya untuk berkuliah. Iya lima tahun, saya memang telat lulus kuliah satu tahun. Layaknya anak kuliah dengan banyak tugas dan juga beban pikiran di luar kuliah, pada saat-saat tertentu saya merasa down. Merasa galau, risau, lelah, jenuh, merasa hidup ini kok berat banget sih, kayak badan saya. Eh, lho kok ke sana? Ya intinya ada lah saat-saat di mana hidup tuh kok berasa berat banget. Kepala penuh, dada sesak dan rasanya ingin sekali menghentikan waktu sehari saja. Untuk memberi jiwa dan raga ini jeda dari segala keruwetan. Di saat-saat seperti ini biasanya saya akan “melarikan diri” untuk memberi ruang pada diri saya untuk berdamai dengan kenyataan.

Salah satu tempat bagi saya untuk menenangkan diri adalah di Kenjeran. Biasanya sore-sore menjelang maghrib saya pergi ke sana. Menikmati matahari perlahan tenggelam, hembusan angin dan aroma laut, dan juga ada pemandangan jembatan Suramadu terlihat dari tempat saya biasanya duduk. Pada saat-saat itu biasanya yang saya lakukan hanyalah menikmati suasana. Tujuannya memang memberi jeda bagi pikiran dan perasaan dari persoalan yang melelahkan. Agar saya bisa menikmati dan menyadari bahwa serumit apapun hidup, dunia selalu punya sisi indah. Yang terkadang tersembunyi, tak terlihat oleh mata, sebab kita terlalu fokus pada kepahitan masalah yang sedang dihadapi. Dengan begitu, saya bisa bersyukur bahwa segala yang sedang saya hadapi ini adalah tanda bahwa saya masih hidup.

Pernah di suatu sore mata saya tertuju pada ombak dan karang yang berada di bawah kaki saya. Lama saya perhatikan mereka saling bertahan. Ombak bertahan dengan fitrahnya untuk menerjang karang. Begitu pun karang yang bertahan pada fitrahnya untuk diterjang oleh ombak. Kemudian, di kepala saya tiba-tiba seperti ada lampu menyala. Menerangi gelapnya pikiran dan perasaan saya saat itu.

Dengan melihat ombak dan karang itu, saya menyadari, bahwa terkadang kita harus seperti mereka. karang yang tetap tangguh diterjang ombak, hingga pada waktunya ia terkikis. Ombak yang tak pernah berhenti menerjang karang, hingga pada akhirnya mampu mengikisnya. Satu hal yang saya pelajari bahwa mereka memiliki sebuah kesamaan, yaitu gigih dan tak pernah menyerah hingga mencapai batas waktunya. Ada kalanya memang kita harus seperti ombak yang terus berjuang dengan gigih hingga bisa menaklukkan apapun halangan yang ada di depan hidup kita. Dan ada kalanya kita harus bersikap seperti karang yang bertahan, tak bergeming meski terus diterjang berbagai macam cobaan, hingga waktu kita habis. Kita ini memang fana, pasti akan bertemu dengan akhir kehidupan. Tapi yang jelas, sebelum waktu kita habis, kita tetap tegar menghadapi gempuran sebesar apapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan

I'm (Not) A Teacher

Resensi Buku "Manajemen PIkiran dan Perasaan" Karya Ikhwan Sopa