Bandungku
Macet sudah menjadi bagian dari hidup di Kota ini. Timur, barat, selatan ke utara tak juga aku temukan. Tak kunjung aku dapatkan. Eh, loh, loh kok malah nyanyi. Hehehe, maaf. Tapi, setuju bukan, bahwa macet adalah bagian dari Kota Bandung. Mungkin menjadi "penyakit" di kota besar lainnya juga.
Tapi semacet-macetnya Bandung, aku tetap mencintainya. Tak ada yang sempurna kecuali Tuhan. Termasuk Bandung. Bandung memang menyebalkan dengan kemacetannya. Tapi menenangkan dengan udara sejuknya. Indah dengan deretan gunungnya. Meneduhkan karena keramahan orang-orangnya.
Aku sebenarnya bukan warga Kota Bandung. Rumahku di Kabupaten Bandung. Aku tumbuh di Kabupaten Bandung. Tapi aku sempat menghabiskan masa remajaku di Kota Bandung. Mendapatkan ilmu dan menemukan cita-cita di Kota Bandung. Sejauh apapun aku pernah pergi, aku tetap merasa, Bandung adalah tempatku kembali. Meski sempat aku menuntut ilmu di Kota Pahlawan. Tapi Kota Kembang lah tempatku mengabdi.
Tak hanya macet sebenarnya. Banjir juga tak jarang ditemukan. Terutama di ruas jalan yang sering aku lalui untuk pulang ke rumah. Pernah suatu hari ketika SMA dulu, aku terjebak banjir. Hingga perjalanan Bandung-Soreang (Ibukota Kabupaten Bandung, di mana merupakan rumahku berada) 5 jam lamanya. Lima jam! Sedihnya melihat plastik-plastik berserakan di jalan yang mulai agak surut airnya. Ah, rupanya ini sebabnya. Bukan Tuhan yang tak sayang. Tapi manusia memang terkadang berbuat seenaknya.
Sekalipun udara Bandung di malam hari sangat dingin, bukan berarti tubuh tak bisa basah oleh keringat bila 5 jam lamanya di dalam mobil, angkot. Berdesak-desakan dengan manusia lainnya. Begitulah memang balada anak kampung yang bersekolah di kota. Ya segala sesuatu memang butuh pengorbanan, bukan? Tapi, itu bukan apa-apa. Aku tetap cinta Bandungku. Jika harus ada pengorbanan, bukankah cinta sudah sepaket dengan pengorbanan?
Tapi semacet-macetnya Bandung, aku tetap mencintainya. Tak ada yang sempurna kecuali Tuhan. Termasuk Bandung. Bandung memang menyebalkan dengan kemacetannya. Tapi menenangkan dengan udara sejuknya. Indah dengan deretan gunungnya. Meneduhkan karena keramahan orang-orangnya.
Aku sebenarnya bukan warga Kota Bandung. Rumahku di Kabupaten Bandung. Aku tumbuh di Kabupaten Bandung. Tapi aku sempat menghabiskan masa remajaku di Kota Bandung. Mendapatkan ilmu dan menemukan cita-cita di Kota Bandung. Sejauh apapun aku pernah pergi, aku tetap merasa, Bandung adalah tempatku kembali. Meski sempat aku menuntut ilmu di Kota Pahlawan. Tapi Kota Kembang lah tempatku mengabdi.
Tak hanya macet sebenarnya. Banjir juga tak jarang ditemukan. Terutama di ruas jalan yang sering aku lalui untuk pulang ke rumah. Pernah suatu hari ketika SMA dulu, aku terjebak banjir. Hingga perjalanan Bandung-Soreang (Ibukota Kabupaten Bandung, di mana merupakan rumahku berada) 5 jam lamanya. Lima jam! Sedihnya melihat plastik-plastik berserakan di jalan yang mulai agak surut airnya. Ah, rupanya ini sebabnya. Bukan Tuhan yang tak sayang. Tapi manusia memang terkadang berbuat seenaknya.
Sekalipun udara Bandung di malam hari sangat dingin, bukan berarti tubuh tak bisa basah oleh keringat bila 5 jam lamanya di dalam mobil, angkot. Berdesak-desakan dengan manusia lainnya. Begitulah memang balada anak kampung yang bersekolah di kota. Ya segala sesuatu memang butuh pengorbanan, bukan? Tapi, itu bukan apa-apa. Aku tetap cinta Bandungku. Jika harus ada pengorbanan, bukankah cinta sudah sepaket dengan pengorbanan?
Komentar
Posting Komentar